Kamis, 15 Desember 2011

Mengapa Bersekolah di Sekolah Swasta ?

Ya! Mengapa aku bersekolah di sekolah yang mahal? Mengapa aku tidak bersekolah di sekolah negeri saja? Mengapa orang tuaku harus bersusah payah mencari uang demi untuk pendidikanku?  Mengapa aku tidak bersekolah di sekolah yang gratis saja? Begitu banyak pertanyaan “mengapa” dalam pikiranku.

Ayahku bekerja sebagai seorang guru les privat. Dia mengajar beberapa orang teman kelasku/ Sebagai anak yang paling pandai di kelas, sepertinya beberapa orang tua temanku tertarik untuk menggunakan jasa ayahku sebagai guru les mereka.

Pernah aku bertanya kepada ayah tentang penghasilan dari mengajar les.
“Tergantung dari penawaran ayah kepada orang tuanya. Ayah hanya memberikan standar Rp.500.000 per anak tiap bulan” jelas ayah.

“Coba kamu hitung sendiri, jumlah murid les ayah ada 5 orang. Ditambah dengan jumlah murid les ibumu sebanyak 6 orang. Jadi totalnya berapa? “ tanya ayah kepadaku.
“Lima juta lima ratus ribu...!” dengan cepat aku menjawab karena memang paling mudah mengalikan angka 11 dengan angka laiinya.
“Wah... banyak ya penghasilan ayah!” kataku ketika perkalian tersebut sudah aku dapatkan hasilnya. “ Memang lumayan banyak penghasilan ayah dari mengajar les, tapi pengeluaran untuk kebutuhan juga cukup banyak” jelas ayah.

“ Kita harus membayar uang sekolahmu, membayar cicilan rumah, dan keperluan sehari hari lainnya” Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan ayah.

Aku bersekolah di sekolah swasta di kotaku. Sekolah yang boleh dikatakan mahal untuk ukuran penghasilan ayahku sebagai seorang guru les.

Suatu sore hari  saat kami sekeluarga sedang minum teh, aku sempatkan untuk mempertanyakan semua pertanyaan “mengapa”-ku tadi.
“Ayah, mengapa aku bersekolah di sekolah swasta? Mengapa tidak di sekolah negeri saja?”, tanyaku.
“Oo...kamu sepertinya penasaran ya!”, sepertinya ayah sudah tahu kalo aku akan menanyakan sesuatu hal kepadanya.
“Pada waktu kamu selesai sekolah di taman kanak kanak, umurmu waktu itu baru enam setengah tahun. Nah menurut aturan yang berlaku, umurmu itu dianggap belum cukup untuk masuk di sekolah dasar. Meskipun sebenarnya pada saat itu kamu sudah lulus beberapa tes, ada tes membaca, tes menulis, tes menghitung, dan tes mengaji. Hanya saja, umurmu waktu itu dianggap belum cukup untuk masuk sekolah dasar” jelas ayah dengan panjang lebar.

“Loh? Memangnya anak umur berapa tahun yang diterima?”, tanyaku penasaran. “Hanya anak yang berumur 7 tahun”, jawab ayah.
“Namun kamu tahu tidak? Ada beberapa temanmu yang usianya belum cukup tujuh  tahun tapi mereka diterima bersekolah,” sambung ibu.
“Loh! Itu namanya tidak adil dong! Kenapa mereka bisa diterima?”, tanyaku lagi.
Melihat rasa penasaranku yang makin bertambah, ibu kembali menjelaskan semuanya dengan sabar
“Karena mereka mengubah akte kelahirannya! Dengan mengubah akte kelahiran tersebut maka umur mereka otomatis akan sesuai dengan persyaratan masuk sekolah. Sebenarnya pada waktu itu ada beberapa teman ibu yang  menyarankan untuk mengubah akte kelahiranmu. Namun, ibu tidak mau” , jelas ibu.

“Tapi mengapa ibu tidak mau mengubah akte kelahiranku? Bukankah dengan demikian maka aku bisa bersekolah di sekolah negeri?”, tanyaku tambah penasaran.
“Mengubah akte kelahiran sama dengan mengubah identitas seorang anak. Karena siapapun yang yang mengubah akte kelahiran, sama saja dengan mengubah apa yang menjadi kehendak Allah,” jelas ayah.

“Selain itu, perbuatan tersebut adalah termasuk tidak jujur atau bohong. Yang pertama, kita berbohong kepada Allah, kedua berbohong kepada negara, dan yang ketiga  berbohong kepada diri sendiri,” sambung ayah lagi.
Aku terdiam dan makin serius menyimak penjelasan kedua orangtuaku. “Jika Allah sudah  menghendaki seseorang lahir pada hari itu, kenapa kita harus menggantinya? Menentangnya?”, kata ibu.

“Selain itu, akte kelahiran adalah sebuah bentuk pengakuan hukum negara kepada anak anak  Indonesia. Jadi kalau dipalsukan maka itu  berarti melanggar hukum. Coba kamu bayangkan seandainya akte kelahiran palsu tersebut digunakan, berarti seumur hidup kamu telah berbuat tidak jujur. Nah,  jika dari awalnya sudah tidak jujur, maka bagaimana bangsa ini bisa maju dan bermartabat?”, jelas ayah dengan panjang lebar.

 “Tapi, bukankah sekarang sekolah negeri gratis semua, sedangkan sekolah swasta itu mahal?”, tanyaku lagi. “Memang benar kalau sekolah swasta itu mahal.. Namun, di sekolahmu sekarang ini kamu bisa berprestasi dengan jujur bukan?” tanya ayah. Aku mengiyakan penjelasan ayah karena memang dari kelas 1 hingga kelas kelas 5 SD, aku selalu mendapat rangking 1.

 “Nah sekarang kamu sudah mengerti kan?” tanya ibu. Aku mengangguk lagi. “Iya. Sekarang semua pertanyaanku sudah terjawab.” kataku. “Ya sudah, ayo, diminum tehnya.” ajak ibu. Slurpp!

Sekarang aku sudah mengerti bahwa mengubah akte kelahiran sama artinya mengubah identitas seorang anak, dan itu adalah sebuah perbuatan yang tidak jujur. Sebaliknya dengan tidak mengubah akte kelahiran, berarti kita telah berbuat jujur. Aku dan orang tuaku sudah berbuat jujur. Ternyata jujur itu indah.... Alhamdulillah ya!


Makassar, 15 Nopember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar