Rabu, 17 Juli 2013

Pendongeng : Profesi yang harus dihargai

Pernah suatu ketika seseorang bertanya kepada saya, "Kak Heru kalau mau ngundang dongeng gimana untuk acara sosial?"

"Boleh kok, tapi memang harus booking jauh-jauh hari ya untuk tanggal. Tidak bisa dadakan kalau kebetulan kosong saya bisa prioritaskan tapi kalau sudah ada janji lebih dulu ya maaf :)"

"Oke deh, kalau acara sosial berarti free kan ya kak?"

"Memang tidak dibuat budgeting?"

"Namanya juga acara sosial kak? Berarti free donk."

Saya rasa pertanyaan ini sering saya dapati di lapangan ketika memutuskan untuk konsen menjadi pendongeng. Faktanya, saya sering di undang sebagai pendongeng untuk acara sosial: santunan, penggalangan dana, khitan masal, buka puasa bersama, dll

Maaf ini bukan bicara soal materialistis. Saya senang mendongeng, saya senang melihat anak-anak antusias mendengarkan cerita saya. Saya juga sering bikin event sosial. Tapi saya selalu berusaha menyiapkan "ucapan terima kasih" kepada narasumber yang saya undang.

Saya lebih suka panitia bilang apa adanya dari awal misalnya tentang ketiadaan dana. Karena saya sering membawa asisten saat terjun kelapangan. Kemudian ada transportasi yang perlu saya perhitungkan dsb. Setidaknya saya bisa menyesuaikan keadaan (bukan kualitas dongeng) dengan kondisi yang ada. Setidaknya saya pun harus memberikan ucapan terima kasih kepada asisten saya. Dan dari apa yang saya dapat ada jatah preman yang juga harus saya tunaikan.

Tapi saya tidak pernah memaksa misalnya harus sekian. Saya punya standar, tapi juga menyesuaikan kepada si tuan rumah. Daripada harus memicingkan mata dan memandang saya seolah matrealistis karena saya tanya demikian.

Saya juga tidak mau hanya karena budget, anak-anak batal mendengar cerita saya.

Seringkali profesi saya sebagai pendongeng seringkali diartikan sebagai seorang badut. Saya tidak menganggap hina pekerjaan badut, tapi bagi saya mendongeng bukan sekedar menghibur. Menjadi pendongeng itu besar artinya bagi saya. Dongeng adalah cara da'i menyampaikan hikmah melalui cerita kepada anak-anak. Dan menjadi pendongeng sama artinya menjadi da'i untuk anak. Dan itu tanggung jawab besar.

Tapi seringkali di lapangan saya mendapati diri saya diperlakukan seperti badut dan diperlakukan tidak manusiawi. Padahal badut kan juga manusia, pendongeng pun juga manusia. Jadi sudah selayaknya di hargai layaknya manusia :)

Saya juga tidak mau hanya karena budget, anak-anak batal mendengar cerita saya.

*) sharing dengan Kak Pita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar